Minggu, 14 November 2010

PENDIDIKAN NILAI PADA PESANTREN MODERN*

Pendidikan, suatu terminologi yang digunakan manusia sebagai proses tindakan untuk mempersiapkan generasi lebih lanjut agar mampu dan mempunyai nilai lebih dari generasi-generasi sebelumnya untuk survive dalam kehidupan mereka. Dalam konteks kehidupan bernegara Indonesia, hal tersebut sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Isyarat UU ini sebenarnya merupakan re-configuration dari amanat Allah swt yang artinya: “…….. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”
Pendidikan dalam konteks proses adalah sebagaimana disampaikan para pakar, di antaranya M.J. Langeveld yang mendefinisikannya sebagai pemberian pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan, dalam arti dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakan-tindakannya menurut pilihannya sendiri. Di pihak lain, John Dewey yang masyhur dengan education philosophy-nya mengatakan bahwa education is all one growing; it has no end beyond itself. Pendidikan adalah segala sesuatu yang bersamaan dengan pertumbuhan. Pendidikan tidak mempunyai tujuan akhir di balik dirinya. Artinya manusia seiring dengan kehidupannya menjalani pendidikan, yakni pengembangan diri ke tingkat yang lebih sempurna. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan paradigma long life education atau pendidikan sepanjang hayat.
Lebih lanjut, tentang implementasi dan bentuk pendidikan, dikatakan bahwa pesantren merupakan the indigenous formation/ implementation pendidikan Indonesia. Pesantren pada dasarnya memiliki 2 (dua) makna; sebagai benteng moral dan wahana kajian/ pengembangan ilmiah. Dalam perkembangannya, pesantren telah terkotak-kotak sesuai dengan karakter pendidikan yang dipilihnya. Menurut Nurcholish Madjid, dalam menyikapi modernitas umat Islam terbagi dalam beberapa golongan; 1) fundamentalis yakni mereka yang tidak menerima dan menentang modernitas, 2) apologetik yakni mereka yang menerima modernitas namun tanpa pertimbangan tradisi dan, 3) modern yakni mereka yang menerima modernitas dengan mempertimbangkan tradisi Islam sebagai acuan dan mengakarkan modernitas pada tradisi panjang dari intelektualitas Islam. Perbedaan sikap itulah yang selanjutnya melahirkan tipologi pesantren; Di antara mereka memandang pesantren dari sudut pandang fisik seperti Kafrawi dengan empat tipologi pesantrennya; pertama, pesantren yang hanya mempunyai masjid dan rumah kyai, sehingga dua sarana tersebut menjadi pusat pembelajaran; kedua, pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai dan pondokan santri; ketiga, pesantren dengan masjid, rumah kyai, pemondokan santri dan madrasah sebagai sistem pembelajaran; dan keempat, pesantren sebagaimana item ketiga dengan beberapa unit pembelajaran vokasional seperti perikanan, pertanian, perkebunan,koperasi, dan lain-lain.
Berbeda dengan Kafrawi, Wardi Bakhtiar dan kawan-kawan mengklasifikasi pesantren dari sudut pandang ilmu pengetahuan yang diajarkan. Menurut mereka, pesantren dapat digolongkan menjadi dua macam; pertama, pesantren salafi; dan kedua, pesantren khalafi. Pesantren salafi adalah pesantren yang mengajarkan kitab-kitab Islam klasik. Bagi pesantren ini yang terdapat madrasah, keberadaannya hanya untuk mempermudah teknik pengajaran sebagai pengganti metode sorogan. Dalam pendidikannya, pesantren ini tidak mengajarkan pengetahuan umum. Sedangkan pesantren khalafi selain memberikan pengajaran kitab Islam klasik juga membuka sistem sekolah umum di lingkungan dan di bawah tanggung jawab pesantren.
Semenjak Indonesia merdeka pada tahun 1945 sampai saat ini (kurang lebih dalam kurun 65 tahun) telah mengalami beberapa perubahan strategi pendidikan. Hal tersebut terindikasi pada berubahnya sistem ujian nasional sebagaimana diulas oleh Sugiyanto, staf Dinas Pendidikan Kota Malang bahwa secara global historis kita telah mengalami 4 (empat) perubahan mendasar. Tahun 1945 – 1969, pendidikan lebih bersifat komando sentralistis/ instruksional. Segala yang berhubungan dengan evaluasi datang dari pemerintah. Hasil sistem ini adalah rendahnya mutu/ kualitas out put maupun out come pendidikan. Di sisi lain tingginya kuantitas out put pendidikan. Pada tahun 1969 – 1983 bersifat sebaliknya, desentralistis. Evaluasi diserahkan pada pihak sekolah. Hasilnya pun tidak lebih baik dari sistem sebelumnya, mutu pendidikan yang rendah. Tahun 1983 – 2002, sistem evaluasi dilakukan bersama antara pemerintah dan sekolah. Domain yang dievaluasi hanya pada kognitif. Dikenal sistem mark up dan konversi nilai. Mutu lulusan pun masih rendah. Karena hampir dipastikan semua pelajar mencapai kelulusan, sehingga di antara efek negatifnya adalah tidak ada daya dan upaya kompetisi (فاستبقوا الخيرات), tidak ada quality qontrol/ quality assurance, dan pendidikan hanyalah formalitas/ semu sarat nilai. Selanjutnya, tahun 2002 sampai sekarang, evaluasi pendidikan juga dilaksanakan secara bersama antara pusat dan sekolah, namun lebih sempurna. Bagian pusat pada domain kognitif, sedangkan sekolah pada domain psikomotorik dan afektif. Terdapat benchmark nasional yang digunakan sebagai alat ukur keberhasilan proses pengajaran.
Artinya bahwa kita sebagai bangsa telah sadar akan urgennya pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada kecemerlangan otak saja, melainkan juga pada ketrampilan dan sikap yang merupakan kesatuan tidak terpisahkan. Hal tersebut tercetus dalam firman Allah swt yang artinya: “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Berulang kalinya siswa-siswa Indonesia merebut medali emas pada berbagai olimpiade internasional, di antaranya pada International Phisycs Olympiad dan International Biology Olympiad merupakan bukti nyata keberhasilan pendidikan, walaupun hanya pada salah satu faktornya, yakni pengajaran dan pada satu domain, kognitif. Namun demikian, banyak fenomena di sekitar kita yang menegasikan proses pendidikan tersebut. Pada September 2008 lalu, saat hari pertama puasa Ramadhan 1429 H, 6 (enam) anak baru gede (ABG) kota Padang Sumatra Barat menggelar pesta ganja. Dari penggerebekan polisi, didapat barang bukti (BB) berupa 1 (satu) paket kecil ganja kering lengkap dengan kertas lintingan berisi ganja. Ironisnya, 2 (dua) di antaranya adalah siswa aktif salah satu sekolah menengah atas (SMA) di Padang (jawa pos 3 september 2008) Peristiwa memilukan dan memalukan kembali tertoreh dalam dunia pendidikan, sebanyak 19 SMA di Indonesia tahun ini di kabarkan tidak lulus Unas 100%. Di duga ketidaklulusan tersebut di sebabkan para siswa menyontek kunci jawaban yang ternyata palsu, dan celakanya kunci jawaban itu berasal dari tim sukses sekolah tersebut yang notabenenya adaalah guru (Jawa Pos 31 Mei 2009) Ketidaklulusan siswa sampai 100% di suatu sekolah jelas sangat menyentak, bocoran kunci jawaban itu awalnya tentu diyakini bisa mendongkrak kelulusan, tapi yang terjadi sebaliknya. Beredarnya kunci jawaban palsu justru menjerumuskan siswa sehingga tidak lulus Unas. Setolol itukah peserta didik hingga menelan mentah-mentah kunci jawaban palsu tanpa ada reserve sedikitpun? Atau memang peserta didik meyakini kunci jawaban tersebut karena sebelumnya dikondisikan bahwa sekolah telah membentuk guru yang menjadi tim sukses Unas? Jika kedua thesa tersebut benar, di manakah kehormatan “nilai” suatu pendidikan ?
Dari ulasan data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia, yang dikenal makmur, damai, sentosa dengan gemah ripah loh jinawi-nya serta bangsa yang memegang teguh nilai-nilai mulia ketimuran telah mengalami ketidak-sempurnaan dalam bidang pendidikan. Gagalnya pendidikan pada domain afektif tidak hanya gagal pada faktor siswa tetapi juga guru bahkan masyarakat. Artinya sekolah dan masyarakat sebagai bagian dari tri pusat pendidikan dalam menjalankan tugas dan fungsinya telah melenceng dari amanat pendidikan.
Disinilah pesantren harus mengambil peran, pesantrenlah yang dipercaya mempunyai konsep dan kekuatan untuk mengembalikan pendidikan sesuai amanatnya. Sukamto membenarkan hal tersebut bahwa pesantren selama ini telah berhasil mengukir prestasi dan kekhasan menyangkut: 1) penghayatan mental spiritual keagamaan dan tafaqquh fi al-din; 2) pelestarian nilai-nilai keagamaan, semisal keagamaan, kesederhanaan, keikhlasan, ukhwah, kebaktian, dan kswadayaan; 3) lebih condong pada pengutamaan social effects daripada civil effects; 4) pelahiran pemimpin, baik formal maupun non-formal yang berpengaruh bagi masyarakat di lingkungannya; dan 5) penyebaran dakwah Islam yang telah melahirkan umat Islam Indonesia sebagai mayoritas dari tata susunan masyarakat bangsa Indonesia.
Terkait tipologi pesantren pada tradisional dan modern, Fazlur Rahman menyatakan bahwa pendidikan sekarang harus mengembangkan daya kritis dan kreatif untuk menghasilkan out put yang kritis dan kreatif. Berikut adalah ciri-ciri out put yang kritis dan kreatif; 1) mempunyai pemikiran asli (originality); 2) mempunyai keluwesan (flexibility); dan 3) menunjukkan proses berfikir (fluency).
Berbeda dengan pola pendidikan lama (tradisionalis) yang mengedepankan konsep sami’na wa ata’na. Bahwa guru atau kyai adalah bapak atau raja sebagai tempat bergantung, sedangkan santri/ anak didik adalah anak atau hamba yang harus taat padanya (paternalistic system). Orasi sufisme pendukung fenomena tersebut adalah ungkapan Imam ‘Ali bin Abi Talib: “Aku rela menjadi hamba sahaya guruku yang telah mengajariku satu huruf, terserah padanya, aku mau dijual, dimerdekakan atau tetap dijadikan hamba sahaya”.
Kedua fenomena tersebut mengisyaratkan bahwa terjadi pergeseran pemaknaan nilai antara pendidikan pola lama (tradisional) dan pendidikan model baru (modern). Pemaknaan tersebut tentunya berimbas pada perubahan konsep pendidikan nilai serta implementasinya dalam keseharian hidup sang pendidik dan yang dididik dari pola lama ke model baru (dari salaf ke modern). Satu pergeseran di antaranya adalah nilai “bertanya”. Pola salaf melihat bahwa “bertanya” kepada guru adalah tabu, sedangkan pola sekarang, “bertanya” seyogyanya dibudayakan sebagai upaya berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thingking).

*My Teacher : Agus Suprianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar